Kamis, 21 Februari 2013

MESIN-MESIN INDUSTRI HASIL HUTAN LAY OUT PABRIK PAPAN PARTIKEL


IPENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan kayu meningkat. Kebutuhan kayu untuk industri perkayuan di Indonesia diperkirakan sebesar 70 juta m3  per tahun dengan kenaikan rata-rata sebesar 14,2% pertahun. Produksi kayu bulat  diperkirakan hanya sebesar 25 juta m3   per tahun, dengan demikian terjadi defisit sebesar 45  juta m3 (Priyono, 2001 dalam Setyawati, 2004).  Hal  ini  menunjukkan  bahwa  daya  dukung  hutan  sudah  tidak  dapat memenuhi  kebutuhan kayu. Keadaan ini diperparah oleh adanya konversi hutan alam menjadi lahan  pertanian, perladangan berpindah, kebakaran hutan, praktek pemanenan yang tidak efisien dan pengembangan infrastruktur lain yang diikuti oleh perambahan hutan. Kondisi ini menuntut penggunaan kayu secara efisien dan bijaksana dan pengembangan produk-produk inovatif bahan lain pengganti kayu.
Salah satu upaya untuk meningkatkan efisiensi penggunaan kayu dapat dilakukan  dengan teknik laminasi. Dengan teknik laminasi, potongan-potongan kayu atau bahan berligno-selulosa lainnya yang relatif kecil ukurannya dipadukan untuk  memperoleh  lembaran  papan  kayu  yang  lebih  luas  sebelum  digunakan sebagai bahan konstruksi. Produk laminasi  yang ada antara lain berupa papan serat, papan partikel, kayu lapis, serta produk-produk perekatan lainnya (Fakhri, 2002).
Proyek yang direncanakan adalah pendirian pabrik papan partikel di Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat. Bahan baku yang akan dipakai adalah partikel kayu akasia (Acacia mangium) yang potensinya sangat besar di daerah ini. Pabrik ini direncanakan dengan kapasitas produksi 20 m3 per hari atau 6000 m3 per tahun. Jenis produk yang dihasilkan adalah papan partikel yang dapat digunakan sebagai bahan baku industri furniture dan bangunan. Kebutuhan akan papan partikel di dalam negeri cukup besar.
Pemasaran produk papan partikel direncanakan untuk pemasaran dalam negeri. Potensi pemasaran dalam negeri cukup besar dan terus meningkat sejalan dengan berkembangnya industri furniture dan perumahan.
Pabrik yang direncanakan dengan kapasitas 20 m3 per hari, ini akan memproduksi papan partikel yang memenuhi standar. Persyaratan kualitas dan ukuran produk akhir papan partikel akan disesuaikan dengan permintaan konsumen.

B.     Masalah
Sifat papan partikel berhubungan erat dengan sifat bahan baku, bahan penolong dan teknologi proses yang di pakainya. Dalam pembuatan papan partikel, perekat yang digunakan dan kerapatan sangat penting dalam pembuatan produk ini. Perekat dan kerapatan yang akan menentukan sifat fisis dan mekanis dari papan partikel tesebut, dengan pengujian menggunakan metode ASTM.

C.    Tujuan dan Manfaat
a.      Tujuan
Perkembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang teknologi dituntut mengetahui lebih lanjut untuk mengetahui baik secara teori maupun aplikasi pemakaian di lapangan sehingga tujuan yang hendak di capai dalam penelitian ini adalah memanfaatkan cabang dan ranting kayu akasia  sebagai nilai tambah dan nilai ekonomi yang lebih tinggi

b.      Manfaat
Penelitian ini di harapkan dapat memberikan manfaat berupa informasi mengenai alternatif lain untuk memperluas pemanfaatan cabang dan ranting kayu akasia sebagai bahan baku pembuatan papan partikel.


II. TINJAUAN PUSTAKA

A.    Acacia mangium
Acacia mangium Willd., yang juga dikenal dengan nama mangium, merupakan salah satu jenis pohon cepat tumbuh yang paling umum digunakan dalam program pembangunan hutan tanaman di Asia dan Pasifik. Keunggulan dari jenis ini adalah pertumbuhan pohonnya yang cepat, kualitas kayunya yang baik, dan kemampuan toleransinya terhadap berbagai jenis tanah dan lingkungan (National Research Council 1983). Tekanan terhadap ekosistem hutan alam di Indonesia yang tidak dapat dihindari belakangan ini mengakibatkan penggunaan jenis cepat tumbuh, termasuk mangium, sebagai pengganti bahan baku untuk menopang pasokan produksi kayu komersial. Berdasarkan hasil uji coba dari 46 jenis tanaman yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan di Subanjeriji (Sumatera Selatan), mangium dipilih sebagai jenis tanaman yang paling cocok untuk tempat tumbuh yang marjinal, seperti padang rumput alang-alang (Arisman 2002, 2003).
Luas areal hutan tanaman mangium di Indonesia dilaporkan mencapai 67% dari total luas areal hutan tanaman mangium di dunia (FAO 2002). Rimbawanto (2002) dan Barry dkk. (2004) melaporkan bahwa sekitar 80% dari areal hutan tanaman di Indonesia yang dikelola oleh perusahaan negara dan swasta terdiri dari mangium. Sekitar 1,3 juta ha hutan tanaman mangium telah dibangun di Indonesia untuk tujuan produksi kayu pulp (Departemen Kehutanan 2003). Mangium juga diusahakan oleh rakyat (petani) dalam skala kecil. Menurut Departemen Kehutanan dan Badan Statistika Nasional (2004), Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah tanaman mangium rakyat tertinggi, mencakup lebih dari 40% total jumlah tanaman mangium yang diusahakan oleh rakyat di Indonesia.
A. mangium termasuk jenis Legum yang tumbuh cepat, tidak memerlukan persyaratan tumbuh yang tinggi dan tidak begitu terpengaruh oleh jenis tanahnya.  Kayunya bernilai ekonomi karena merupakan bahan yang baik untuk finir serta perabot rumah yang menarik seperti: lemari, kusen pintu, dan jendela serta baik untuk bahan bakar. Tanaman Acacia mangium yang berumur tujuh dan delapan tahun menghasilkan kayu yang dapat dibuat untuk papan partikel yang baik.

B.     Papan Partikel
Papan partikel adalah papan komposit yang dibuat dari potongan-potongan kecil kayu,  termasuk  serbuk  gergaji  atau  bahan  berligno-selulosa  lain.  Potongan- potongan tersebut direkatkan dengan perekat atau resin sintetis, kemudian ditekan sehingga  membentuk  papan  dengan  disain  dan  ukuran  tertentu  (Salomba  dan Purwanto, 1995).
Papan partikel merupakan salah satu jenis produk partikel/panel kayu yang terbuat dari partikel-partikel kayu atau bahan-bahan berlignoselulosa lainnya yang diikat dengan perekat sintetis atau bahan pengikat lain kemudian dikempa panas (Maloney 1993). Bahan berlignoselulosa banyak ditemukan dalam tanaman. Hal inilah yang memungkinkan papan partikel dapat dibuat dalam skala industri dimana Indonesia kaya akan bahan bakunya.
Menurut Rowell (1988), bahan baku papan partikel dimasa mendatang sangat bervariasi. Penggunaan berbagai campuran bahan baku dapat dilakukan dalam pembuatan papan partikel. Penggunaan bahan baku dalam produk partikel tidak harus berasal dari bahan yang berkualitas tinggi tetapi juga dapat menggunakan limbah seiring dengan timbulnya isu lingkungan, kelangkaan sumber bahan baku, penguasaan teknologi yang semakin maju, imajinasi, pengetahuan, dan penguasaan ilmu yang semakin tinggi serta berbagai faktor lain yang merangsang terciptanya produk partikel yang berkualitas tinggi dari bahan baku yang berkualitas rendah. Bahan baku dengan kualitas rendah maupun tinggi tidak terlalu menjadi masalah terhadap kualitas papan partikel karena papan partikel dapat dibuat sesuai dengan keinginan pembuatnya, salah satunya adalah kerapatan dari papan tersebut.
Berdasarkan kerapatannya, Maloney (1993) membagi papan partikel menjadi beberapa golongan, yaitu:
a.      Papan partikel berkerapatan rendah (low density particleboard), yaitu papan yang mempunyai kerapatan kurang dari 0,4 gr/cm3.
b.      Papan partikel berkeraptan sedang (medium density particleboard), yaitu papan yang mempunyai kerapatan antara 0,4-0,8 gr/cm3.
c.      Papan partikel berkerapatan tinggi (high density particleboard), yaitu papan yang mempunyai kerapatan lebih dari 0,8 gr/cm3.
Selanjutnya Maloney (1993) menyatakan bahwa dibandingkan dengan kayu asalnya, papan partikel mempunyai beberapa kelebihan seperti:
1.      Papan partikel bebas mata kayu, pecah, dan retak.
2.      Ukuran dan kerapatan papan partikel dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
3.      Tebal dan kerapatannya seragam serta mudah untuk dikerjakan.
4.      Mempunyai sifat isotropis.
5.      Sifat dan kualitasnya dapat diatur.
Beberapa faktor kunci yang berpengaruh terhadap kualitas papan partikel antara jenis kayu, bentuk partikel, kerapatan papan, profil kerapatan papan, jenis dan kadar serta distribusi perekat, kondisi pengempaan (suhu, tekanan, dan waktu), kadar air adonan, kontruksi papan, particle alignment, dan kadar air partikel (Maloney 1993).
Dalam proses pembuatan papan partikel, semakin tinggi suhu kempa yang digunakan, maka pengembangan tebal dan daya serap air semakin rendah, keteguhan lentur dan kekuatan tarik sejajar permukaan semakin tinggi. Semakin tinggi kadar perekat yang digunakan maka kualitas papan partikel yang dihasilkan semakin baik. Namun karena pertimbangan biaya produksi, biasanya kadar perekat yang digunakan pada industri papan partikel tidak lebih dari 12% (Massijaya 1997).
 
 





Gambar: Partikel dan Papan Partikel


III. METODE PELAKSANAAN

A.    Alat dan Bahan
Peralatan  yang  digunakan  adalah  chippers, flakers, impact mills, hammer mills, attrition mills, particle drayer, blender, glue spreader, cold press, hot press, trimming, sanding, dan lain-lain. Bahan baku adalah akasia yang diperoleh  dari  hutan tanaman di Kabupaten Kubu Raya karena kondisi daerah ini cocok untuk tanaman akasia, sedangkan bahan pembantu berupa perekat urea formaldehid dan wax di peroleh dari PT Duta Pertiwi Nusantara yang berlokasi di Kabupaten Kubu Raya.  Hardener menggunakan ammonium sulfat, dan bahan pengisi menggunakan tepung kanji.

B.     Lokasi Pabrik
Lokasi pabrik sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup suatu pabrik, maka dalam menentukan tempat berdirinya perlu didasarkan pada perhitungan yang matang sehingga menguntungkan perusahaan baik dari segi teknis maupun ekonomisnya.
Lokasi pendirian pabrik papan partikel rencananya di Kabupaten Kubu Raya. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan faktor Pemasaran dan Transportasi karena papan partikel bukan merupakan barang jadi, namun merupakan barang setengah jadi yang digunakan sebagai bahan baku oleh industri lainnya seperti: furniture, bangunan dan lain-lain.

C.    Tata Letak Pabrik
Dasar perencanaan lay out pabrik adalah untuk memperoleh suatu bentuk lay out yang memberikan efisiensi tinggi dalam setiap kegiatan serta meliputi keselamatan dan keamanan pabrik.
Lay out pabrik dibagi menjadi 3 daerah utama:
  1. Area proses produksi
  2. Area penyimpanan bahan baku dan produk
  3. Area administrasi dan perkantoran.
D.    Skema Proses Produksi Papan Partikel
Lay Out Pabrik Papan Partikel
Keterangan:
A.    Penyimpanan Bahan Baku
B.     Pembuatan Chip (Chippers)
C.     Pembuatan Serpihan (Flake)
D.    Impact Mills
E.     Hammer Mills
F.      Attrition Mills
G.    Pengeringan (Drying)
H.    Pemisahan Partikel (Screening)
I.       Pencampuran Partikel Dengan Perekat (Blender)
J.       Penaburan (Stroying)
K.    Pengempaan Awal (Cold  press)
L.     Pengempaan Panas (Hot Press)
M.   Pemotongan (Trimming)
N.    Pengamplasan (Sanding)
O.    Pengkondisian (Conditioning)
P.      Pemilahan (Grading)
Q.    Gudang pengepakan/dikemas (Packing)
R.     Kantor Administrasi
S.      Areal parkiran


IVPEMBAHASAN

Proses Pembuatan Papan Partikel
1.      Pembuatan Chip (Chippers)
Drum chipper dan disk chipper menghasilkan partikel ukuran besar (tatal), biasanya untuk bahan baku partikel yang lebih kecil.
Gambar: Chippers

2.      Pembuatan Serpihan (Flake)
Tahapan awal proses produksi pembuatan papan partikel adalah dengan membuat flake atau serpihan yang berasal dari bahan baku kayu (log) dengan menggunakan mesin flaker. Ukuran flake yang dihasilkan biasanya memiliki dimensi lebar ± 2 – 3 cm, serta tebal 2 – 4 mm. Flake tersebut akan masuk ke dalam drum penampung(wet silo).
Drum, disk dan ring flakers menghasilkan partikel dengan ketebalan rendah (tipis) yang dinamakan flake. Drum dan disk flakers berfungsi untuk memutar dan menghancurkan kayu dengan ukuran agak besar (kayu berdiameter kecil dan limbah saw mill) menjadi chip dan ring flaker mengubahnya menjadi flake.
Gambar : Flake
3.      Impact Mills
Impact Mills berfungsi untuk menggerinda partikel untuk menghasilkan “fines” partikel yang halus/kecil, biasanya untuk bagian permukaan papan partikel. Ukuran partikel yang dihasilkan berdiameter 1200 mm dan lebar 1400 mm.
  
Gambar: Impact Mills
4.      Hammer Mills
Hammer Mills merupakan bagian alat yang berbentuk gerigi fungsinya untuk menghancur dan memecahkan material kayu menjadi ukuran lebih kecil. Ukuran dan bentuk agak berbeda tetapi bisa dikontrol.
  
Gambar : Hammer Mills
5.      Attrition Mills
Menghasilkan bundelan serat melalui proses penghancuran kayu antara dua flat atau disk bergerigi yang berputar/saling berputar.
Gambar: Attrition Mills
6.      Pengeringan (Drying)
Tujuan Utama dari kegiatan pengeringan adalah untuk menurunkan kadar air flake. Faktor kunci keberhasilan proses pengeringan adalah Suhu, Suplai bahan bakar, dan suplai flake yang masuk kedalam mesin. biasanya kadar air yang dituju adalah sebesar 2-6 % (tergantung ketetapan dari perusahaan). Setelah dikeringkan flake tersebut dpotong kembali oleh mesin hammer mill.
 
Gambar: Drying
7.      Pemisahan Partikel (Screening)
Pada bagian ini flake disaring dan akan terpisah menjadi 3 bagian yaitu: Surface Layer (SL), Core Layer (CL), dan Debu.

8.      Pencampuran Dengan Perekat
Masing-masing bagian flake (kecuali debu) akan dicampurkan dengan perekat pada mesin blender. biasanya perekat yang digunakan adalah perekat tipe UF (Urea Formaldehyde).

9.      Penaburan (Stroying)
Flake yang telah tercampur dengan perekat akan ditaburkan melalui mesin stroyer. jumlah lapisan yang digunakan bisa 3 lapis dan 5 lapis. bagian atas dan bawah kayu lapis menggunakan bahan SL dan bagian inti kayu lapis menggunakan bahan CL.

10.  Pengempaan Awal (cold  press)
Tahap pengempaan awal ini bertujuan agar hasil taburan menjadi lebih kompak atau padat. kempa awal ini dilakukan pada suhu kamar dengan tekanan biasanya 150 kg/cm2.
 
Gambar: Cold Press
11.  Pengempaan Panas (Hot Press)
Kunci keberhasilan dalam prosen pengempaan panas ini adalah suhu, waktu pengempaan, dan tekanan. pengempaan lembaran ini dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu discontinous production dan continous production.
 
Gambar: Hot Press
12.  Pemotongan (Trimming)
Tahapan ini bertujuan untuk memotong papan yang telah di kempa menjadi ukuran yang diinginkan. terdapat 2 gergaji yang digunakan untuk memotong papan yaitu longitudinal trim saw dan cross trim saw.

13.  Pengamplasan (Sanding)
Proses ini bertujuan agar ketebalan papan partikel sesuai dengan yang diinginkan.


V. PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan lay out pabrik papan partikel yang direncanakan harus sesuai dengan tata letak mesin-mesin yang akan digunakan. Susunan dan tahapan kinerja fungsi mesin juga perlu di perhatikan. Apabila posisi mesin tidak efektif maka proses pengerjaannya juga dapat terhambat.
Sedikit banyaknya jumlah produk yang dihasilkan maka semakin luas lokasi pabrik serta alat-alat yang digunakan juga lebih canggih.

B.     Saran
1.      Diharapkan dapat dilakukan penelitian terhadap lay out industri papan partikel dengan bahan yang berbeda dapat menguntungkan secara ekonomis.
2.      Diharapkan agar dilakukan penataan mesin-mesin yang ada dalam industry papan partikel.

REFERENSI

-----------. 1996. Mutu Papan Partikel. SNI 07-2105-1996. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta
-----------. 1999. Emisi Formaldehida Pada Panel Kayu. SNI 01-6050-1999. Badan Standardisasi Nasional (BSN), Jakarta
Anonim. 1983. Standar Papan Partikel Datar. SII 0797-83. Departemen Perindustrian, Jakarta
Euis. H. at. al. UPT Balai Litbang Biomaterial – LIPI
Prasetyo Joko Teguh, 2007. Kekuatan Papan Partikel Terbuat dari Sekam Padi, Skripsi Teknik Mesin, IST AKPRIND, Yogyakarta
Sutigno, P. 1994. Teknologi Papan Partikel Datar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan, Bogor.

kegiatan pemanenan hasil huitan kayu


I.  PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Hutan merupakan sumber daya alam yang tidak terbatas dan mempunyai manfaat yang sangat besar terhadap kehidupan makhluk hidup. Menurut Undang-undang Pokok Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan “Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam alam lingkungannya yang satu dan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Kegiatan eksploitasi hutan di Indonesia dilakukan sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, Undang-undang Pokok Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Dengan adanya Undang-undang tersebut maka adanya kesempatan yang sangat besar bagi parapemilik modal dalam negeri maupun asing untuk membuka usaha dalam kegiatan hutan produksi menjadi dasar bagi perijinan Hak Penguasaan Hutan.
1
 
Kesempatan untuk membuka kegiatan hutan produksi melalui perijinan Hak Penguasaan Hutan kemudian disempurnakan dengan adanya keputusan Meneri Kehutanan No. P/11/Menhut-II/2009 dalam pasal 1 ayat 2 tentang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam yang disingkat dengan IUPHHK-HA adalah izin usaha yang diberikan pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan.
Kegiatan pemanenan sebagai sarana pemanfaatan hasil hutan berupa kayu pada PT. Suka Jaya Makmur dilaksanakan secara lestari (berkelanjutan), dengan memperhatikan aspek ekonomi, ekologi dan sosial. Dengan tujuan mengoptimalkan nilai hutan, menjaga pasokan untuk industri, memperluas kesempatan kerja masyarakat sekitar hutan serta meningkatkan ekonomi lokal dan regional sebagai sumber devisa negara.
Memperhatikan berbagai keuntungan baik yang bersifat finansial maupun ekonomi, inisiatif pengembangan aplikasi dan pelaksanaan RIL juga dilakukan oleh para pengelola hutan (IUPHHK-HA) baik secara individu maupun melalui kerjasama dengan institusi nasional maupun internasional. Sehingga saat ini istilah Reduced Impact Logging (RIL) bagi para pengelola hutan bukanlah merupakan hal baru. Dalam usaha pengelolaan hutan lestari peranan Perlindungan Hutan Penelitian dan Lingkungan (PHPL) beranggapan bahwa resiko merehabilitasi hutan dengan kegiatan menanam saja adalah hal sangat ringan jika dibandingkan dengan resiko merehabilitasi ekosistem yang rusak akibat manuver alat berat yang tidak terencana. Karena intensitas kerusakan baik tanah, struktur vegetasi maupun intensitas keterbukaan canopy akibat tidak ada perencanaan pemanenan menyebabkan kerusakan ekosistem hutan yang mengarah pada un-reversibility hutan (Natadiwirya dkk, 2001).
Pengembangan RIL dalam taraf implementasi di lapangan merupakan satu langkah maju sekaligus merupakan respon terhadap perkembangan paradigma dalam pengelolaan hutan yang environmentally friendly. Demikian besarnya tekanan terhadap pengelolaan hutan yang ramah lingkungan, sehingga prinsip, kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari secara jelas menetapkan RIL sebagai indikator PHPL diprioritaskan.


1.2.  Tujuan
Adapun tujuan kegiatan magang di PT. Suka Jaya Makmur adalah:
1)      Penerapan aplikasi teori di lapangan yang ada diperoleh dari kampus selama kuliah.
2)    Mengetahui proses kegiatan pemanenan hasil hutan yang ada di IUPHHK-HA PT. SJM serta menambah wawasan dan pengalaman di lapangan.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.  Pemanenan Hasil Hutan
Pemanenan hasil hutan merupakan kegiatan yang mencakup penebangan, penyaradan dan pengangkutan sampai ke TPK antara (log pond). Elias, dkk (1979) “Pemanenan hasil hutan merupakan suatu proses produksi yang melalui serangkaian tahapan kegiatan mulai dari perencanaan, penebangan, penyaradan, pemuatan, pengangkutan dan pembongkaran muatan.
Pemanenan merupakan kegiatan yang mengurangi suatu kawasan hutan tebangan yang menghasilkan kayu berupa log yang telah dipotong sesuai dengan keinginan dan dibawa ke tempat pengolahan dengan biaya sekecil mungkin (Klassen, 2006). Pemanenan hasil hutan adalah serangakaian kegiatan kehutanan yang mengubah pohon atau biomassa lainnya, sehinggga bermanfaat bagi kehidupan ekonomis dan kebudayaan masyarakat (Suparto, 1979).

2.2.  Reduced Impact Logging (RIL)
4
 
Reduced Impact Logging (RIL) merupakan sistem pemanenan kayu ramah lingkungan yang menjadi indikator paling penting dalam pengelolaan hutan secara lestari dan menghindari kerusakan tegakan tinggal. Oleh karena itu diperlukan teknik pemanenan kayu yang berwawasan lingkungan, aplikasi ini mampu mengurangi kerusakan vegetasi, tanah dan limbah kayu. RIL menyatakan pendekatan sistematik kegiatan pemanenan, khususnya perencanaan yang matang sebelum pemanenan yang disertai kaidah-kaidah yang layak dan informasi yang akurat (Amstrong dan Inglis, 2000).
Besarnya tingkat kerusakan pada pemanenan kayu sistem RIL didominasi oleh tingkat kerusakan berat, kemudian tingkat kerusakan sedang dan tingkat kerusakan ringan (Muhdi, 2008).

2.3.  Penebangan
Penebangan merupakan kegiatan pengambilan kayu dari pohon-pohon dalam tegakan yang berdiameter sama dengan atau lebih besar dari diameter batas yang ditetapkan. Direktur Jenderal Kehutanan (1993) penebangan juga merupakan awal kegiatan pemanenan, meliputi tindakan atau pekerjaan yang diperlukan untuk memotong pohon dari tunggaknya secara aman dan efisien. Kegiatan penebangan tanpa diragukan adalah salah satu kegiatan yang paling menentukan dalam hubungannya dengan dampak terhadap hutan (Klassen, 2006).
Penebangan merupakan proses mengubah pohon berdiri menjadi kayu bulat yang dapat diangkut keluar hutan untuk dimanfaatkan. Penebangan dilakukan dengan menggunakan empat prinsip yaitu meminimalkan kecelakaan, meminimalkan kerugian dan kerusakan pohon, memaksimalkan nilai produk kayu bulat dari tiap pohon.
Kegiatan penebangan kayu pada hutan alam dilakukan dengan menggunakan batas diameter dimana pohon-pohon yang boleh ditebang adalah pohon-pohon dengan diameter sama atau lebih besar dari 50 cm untuk hutan produksi tetap dan diatas 60 cm untuk hutan produksi terbatas. Sedangkan untuk hutan tanaman, penebangan dilakukan berdasarkan ketentuan perusahaan yang disesuaikan dengan peruntukkan kayunya.

2.4.  Penyaradan
Penyaradan merupakan kegiatan setelah kegiatan penebangan dilaksanakan di blok atau petak tebangan yang merupakan penarikan kayu dari tempat penebangan dengan mengunakan alat penyarad berupa tractor dan skidder.
Pika (1979) penyaradan adalah penarikan kayu atau log melalui lapangan yang tidak menentu dan pembuatan jalan sarad guna menarik log tersebut menuju tempat pengumpulan kayu (TPn) dan selanjutnya diangkut ke tempat penimbunan kayu (TPK) atau ke tempat pembuangan di tepi sungai untuk dirakit atau ke industri sawmill maupun penggergajian.
Penyaradan dimulai dari batang kayu/log terdekat, seorang operator traktor dibantu oleh seorang pembantu yang akan memasang kabel choker/hook pada log dan membantu memberi tanda kepada operator traktor untuk mengambil posisi winching. Pada kegiatan ini kabel winch dan mengkaitkannya pada kabel choker/hook pada log yang akan di winch. Pada waktu winching traktor harus pada posisi diam dan tetap berada di dalam jalan sarad.
Elias (1979) penyaradan sebaiknya tidak dilaksanakan pada musim hujan dan keadaan tanah yang basah, traktor penyarad bergerak keluar jalan sarad, pada waktu penyaradan, pisau traktor menyentuh atau mengupas tanah dan melukai pohon di kiri-kanan jalan sarad, dan traktor masuk ke dalam kawasan lindung.

2.5.  Pembagian Batang
Pembagian batang dilakukan oleh seorang chainsaw bisa pada tempar penebangan ataupun di TPn. Pusdiklat (2006) kegiatan ini juga merupakan permulaan dari sistem penelusuran log yang memungkinkan perusahaan untuk memonitor inventarisasi log perusahaan tersebut. Setelah kegiatan berlangsung log tersebut dipasang satu bagian dari toga bagian label plastik merah pada log. Bagian lain dari label merah ini dipasang pada tanggul pohon, dan bagian ketiga dipegang oleh penebang untuk diserahkan pada mandor produksi.
Saepul (2006) faktor-faktor yang mempengaruhi pemotongan dan pembagian batang akan dipengaruhi oleh:
1)      Kondisi alat pemotongan
2)      Besar kecilnya diameter kayu log
3)      Jenis kayu log (hard wood atau soft wood)
4)      Keterampilan operator chainsaw

2.6.  Kegiatan di TPn
Tempat Pengumpulan Kayu (TPn) adalah tempat untuk pengumpulan kayu-kayu hasil penebangan/pemanenan di sekitar petak kerja tebangan yang bersangkutan (KepMenHut, 2003).
Penetapan lokasi TPn penting sekali dalam kegiatan produksi terutama lokasi jalan pada peta kontur sehingga tofografi dapat dievaluasi secara efektif. TPn ditempatkan pada lereng yang tidak begitu curam namun memiliki lahan dengan drainase yang baik.
Adapun kegiatan yang dilakukan di TPn antara lain:
2.5.1. Pengupasan Kulit
Kegiatan pengupasan kulit merupakan tahap kegiatan kedua di TPn setelah kegiatan pembagian batang. Jenis kayu yang mudah dikupas yaitu: mayau, meranti merah, meranti kuning, melapi, bengkirai, markabang, dan meranti putih. Sedangkan jenis kayu yang sulit dikupas adalah keruing, jelutung, kempas, medang dan nyatoh (Saepul, 2006).

2.5.2. Pemasangan Paku “S”
Pemasangan paku S dilaksanakan setelah kegiatan pengupasan kulit dilakukan, pemasangan paku S biasanya dilakukan minimal sebanyak 3 buah, paku S dipasang pada kedua bontos kayu log (Saepul, 2006).

2.5.3. Pengukuran
Saepul (2006) pengukuran dan pencatatan kayu merupakan kegiatan inti di TPn, karena dari pengukuran dan pencatatan kayu ini perusahaan bisa mengetahui berapa jumlah kayu log yang telah diproduksi pada petak tebangan tersebut, serta dari pengukuran dan pencatatan kayu inilah bisa dibuat laporan hasil produksi (LHP) untuk keperluan dokumen tata usaha kayu.

2.7.  Pengangkutan
Siregar, M (1980) pengangkutan adalah pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan yang di dalamnya terdapat hubungan dalam hal:
a.       Ada muatan yang diangkut
b.      Tersedianya kendaraan sebagai alat angkut
c.       Ada jalan, tempat yang akan dilalui alat angkut
Pengangkutan kayu merupakan kegiatan memindahkan log/kayu dari tempat tebangan sampai tujuan akhir yaitu TPK atau pabrik atau logpond atau logyard ataupun langsung ke konsumen. Kegiatan pengangkutan ini disebut dengan istilah Major Transportation. Menurut Elias (1988) bahwa makin besar kayu maka akan semakin pendek waktu penanganannya per satuan volume dan makin pendek waktu angkutan. Kayu akan turun kualitasnya jika dibiarkan terlalu lama di dalam hutan.

2.8.  Kayu di TPK Hutan/Log Yard
Tempat Penimbunan Kayu (TPK) adalah tempat untuk menimbun kayu yang merupakan penggabungan kayu-kayu dari beberapa TPn. Tempat Penimbunan Kayu hutan berada di darat (logyard) untuk menampung kayu bulat milik IUPHHK (KepMenHut, 2003). Sebelum di olah, kayu yang banyak jumlahnya disimpan diareal Tempat Penimbunan Kayu (TPK) dalam bentuk tumpukan-tumpukan.

2.9.  Kayu di TPK Antara/Log Pond
Saepul (2006) dalam melaksanakan kegiatan pembongkaran kayu log operator harus melaksanakannya secara hati-hati untuk menjaga keselamatan alat serta kayu log dan keselamatan diri petugas pembongkaran.
2.9.1.      Pemisahan Kayu
Pambudi (2009) pemisahan kayu log dilakukan berdasarkan jenis kayu floater dan sinker. Kayu floater adalah log yang terapung di atas air, sedangkan kayu sinker adalah kayu yang tenggelam di air (sungai). Pemisahan kayu log berdasarkan jenis floater dan sinker dilakukan untuk memudahkan operator loader dalam mengambil kayu yang akan dilego ke sungai untuk dibuat rakit.
2.9.2.      Perakitan
Perakitan kayu merupakan suatu kegiatan penyusunan log yang berupa rakit di sungai agar log tersebut bisa diangkut dengan memanfaatkan sungai (Saepul, 2006).

2.9.3.      Tata Usaha Kayu (TUK)
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1985 tentang Pengenaan, Pemungutan, dan Pembagian Iuran Hasil Hutan, ditindaklanjuti dengan munculnya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 521 Tahun 1985. Dengan SK Dirjen Pengusahaan Hutan yang memiliki kekuatan hukum, maka diterbitkan Petunjuk Teknis TUK mulai berlaku 1 Januari 1986.
Aturan TUK adalah tata cara pembuatan, pelaporan dan pengesahan dokumen yang berkaitan dengan kegiatan perencanaan, produksi, penebangan, pengukuran, pengangkutan, pengolahan, pemasaran, dan penerimaan keuangan negara dari hasil hutan.
Tujuan ditetapkannya pedoman tata usaha kayu sebagai aturan adalah dalam rangka upaya pembangunan di bidang pengusahaan kayu hutan. Disamping TUK sebagai upaya pengamanan terhadap berbagai kepentingan negara, juga untuk menciptakan dunia usaha perkayuan yang tertib, lancar, efisien, dan bertanggung jawab. Dapat dikumpulkan informasi kualitatif dan kuantitatif yang diperlukan pemerintah guna menyusun kebijaksanaan berikutnya.